Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik

Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik Alokasi Dana Desa (ADD) maupun Dana Desa. Kajian ini dilatari oleh diberlakukannya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang berimplikasi pada disetujuinya anggaran sejumlah Rp 20,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang akan disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia. Per April 2015, pemerintah telah menyalurkan dana desa tahap pertama pada 63 kabupaten senilai lebih dari Rp 898 miliar.

Dari kajian yang dilakukan sejak Januari 2015, KPK menemukan 14 temuan pada empat aspek, yakni :

1. Aspek regulasi dan kelembagaan ;

2. Aspek tata laksana ;

3. Aspek pengawasan ; dan

4. Aspek sumber daya manusia.

Pada aspek regulasi dan kelembagaan, KPK menemukan sejumlah persoalan, antara lain ;

1. Belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa ;

2. Potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri ;

3. Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan ;

4. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan ; serta

5. Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

Persoalan yang cukup mencolok, adalah formula pembagian dana desa yang berubah disebabkan dari PP No. 60 tahun 2014 menjadi PP No. 22 tahun 2015.

Pada Pasal 11 PP No. 60 tahun 2014 formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota cukup transparan dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel, sementara pada Pasal 11 PP No. 22 tahun 2015, formula pembagian dihitung berdasarkan jumlah desa, dengan bobot sebesar 90 persen dan hanya 10 persen yang dihitung dengan menggunakan formula jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis.

Sebagai ilustrasi, bila mengikuti formula PP No. 60/2014, Desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi ini akan mendapatkan dana desa sebesar Rp 437 juta, sedangkan Desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar Rp 41 juta. Namun, dengan peraturan yang baru, PP No. 22/2015, Desa A mendapatkan Rp 312 juta dan Desa B mendapatkan 263 juta.

Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain :

1. Kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa ;

2. Satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa Belum Tersedia ;

3. Transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa Masih Rendah ;

4. Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi ; serta

5. APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

Mengenai poin terakhir ini, berdasarkan regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut.

Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDes untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik.

Atau Desa Y yang memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) perdagangan cengkeh dibanding, meski daerahnya minim infrastruktur.

Sementara pada aspek pengawasan, terdapat tiga potensi persoalan, yakni :

1. Efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah ;

2. Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah ; dan

3. Ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.

Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni : Tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, dimana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa, justru melakukan korupsi dan kecurangan.

Atas sejumlah persoalan yang ada, KPK berharap kajian ini mampu menjadi mekanisme pemicu dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan keuangan desa bersama semua pemangku kepentingan. KPK berpandangan, dana desa haruslah mampu memajukan desa dan memberdayakan masyarakatnya. (Humas KPK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *