Dalam kurun 2009-2014, dari 439 kasus yang ditangani KPK, 45,33 persen di antaranya melibatkan penyelenggara

Dalam kurun 2009-2014, dari 439 kasus yang ditangani KPK, 45,33 persen di antaranya melibatkan penyelenggara pemerintahan. Sementara, data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, sejak era otonomi daerah hingga tahun 2014, sebanyak 318 kepala/wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi (kompas.com, 2017).

Posisi inspektorat daerah memungkinkan mereka mengawasi secara detail penggunaan keuangan negara/daerah untuk mencegah korupsi, illegal act, dan fraud. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi kendala signifikan, terkait independensi, kapasitas dan kapabilitas organisasi, serta profesionalisme.

Posisi inspektorat daerah sebagai subordinat kepala daerah (PP No. 60 Tahun 2008) kerap dituding penyebab tidak efektifnya perannya sebagai pengawas. Sulit bagi inspektorat daerah menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal pemda secara independen dan objektif. Peringatan dari sang pengawas seringkali diabaikan atau bahkan yang memperingatkan justru mendapatkan ‘sanksi’. Hasil penelitian Cohen dan Sayag (2010) menyimpulkan bahwa organisational independence berpengaruh terhadap internal audit quality.

Kedudukannya di bawah kepala daerah juga menimbulkan tingkat ketergantungan kepada kepala daerah. Salah satunya dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS di lingkungan inspektorat daerah dilakukan sekretaris daerah selaku pejabat pembina kepegawaian.

Situasi ini merupakan kendala bagi para pengawas intern dalam menjalankan tugas secara independen dan objektif, terutama ketika objek pengawasan berkaitan langsung dengan kepentingan pimpinan di daerah.

Faktor lain yang dinilai memengaruhi efektivitas pelaksanaan fungsi inspektorat daerah adalah kapabilitas dan kapasitas, serta profesionalisme. Hasil penilaian kapabilitas Aparat Pengawasan Intern (APIP) di kementerian/lembaga maupun pemda tahun 2014 yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan kapabilitas sebagian besar inspektorat masih lemah.

Dari lima level kapabilitas APIP menurut kriteria Internal Audit Capability Model (IACM), sebanyak 404 APIP (85,23%) berada pada level 1, sebanyak 69 APIP (14,56%) pada level 2, dan hanya 1 APIP (0,21%) berada pada level 3. Level 1 (initial) menunjukkan kapabilitas yang tidak berkesinambungan dan tidak berulang, yaitu bergantung pada usaha individual. Level 2 (infrastructure) berarti adanya prosedur dan praktik audit intern yang berkesinambungan dan berulang. Sedangkan level 3 (integrated) menunjukkan penerapan praktik profesional dan manajemen audit intern yang seragam. RPJMN 2015-2019 menargetkan seluruh APIP berada pada level 3 pada tahun 2019.

Dari sisi kapasitas SDM, inspektorat daerah pada umumnya dihadapkan dengan keterbatasan jumlah auditor. Inspektorat daerah juga menghadapi kendala bervariasinya kompetensi dan kualitas personel. Standar audit intern Pemerintah Indonesia (2013) mensyaratkan auditor (pengawas) intern memiliki sertifikat untuk melaksanakan penugasan audit intern. Situasi tersebut diperparah dengan adanya stigma: inspektorat daerah tempat penampungan pegawai yang tidak disukai pimpinan.

Upaya penguatan peran dan kelembagaan APIP, termasuk inspektorat daerah, sedang dilakukan pemerintah. Salah satunya melalui perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP). Dalam RUU tersebut, inspektorat daerah tidak lagi berada di bawah kepala daerah, sebagaimana yang saat ini diatur dalam PP No. 60 Tahun 2008. Inspektorat berada di unit baru, Inspektorat Nasional, bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, diharapkan lebih independen dan profesional.

Untuk meningkatkan kapabilitas, pimpinan dan pegawai inspektorat harus berkompetensi auditor. Namun sampai saat ini, RUU tentang SPIP masih berada dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015-2019.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga merumuskan rancangan Instruksi Presiden tentang Revitalisasi Peran dan Fungsi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. Di situ, inspektorat tidak berdiri sendiri seperti diusulkan dalam RUU SPIP. Upaya penguatan inspektorat dalam rancangan inpres dilakukan dengan mengatur peningkatan kapasitas dan profesionalisme personel inspektorat.

Kepala inspektorat harus memiliki sertifikat khusus, sedangkan semua aparat pengawas di inspektorat harus memiliki sertifikat fungsional auditor. Setiap inspektorat juga harus melaporkan secara berkala upaya-upaya penguatan peran dan fungsi yang telah dilakukan BPKP.

Saat kedua regulasi mengenai penguatan inspektorat sedang dirancang, pada Desember 2014, Presiden telah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Inpres tersebut menyatakan perlunya mengintensifkan peran APIP dalam meningkatkan kualitas, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional serta meningkatkan upaya pencegahan korupsi.

Di samping restrukturisasi kelembagaan inspektorat daerah yang telah dimuat dalam RUU tentang SPIP, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh inspektorat daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas perannya dalam pencegahan korupsi. Inspektorat daerah perlu meningkatkan kapabilitas organisasi dan SDM.

Dalam meningkatkan kapabilitas organisasi, inspektorat dapat mengunakan perangkat Internal Audit Capacity Model. Pada saat bersamaan, kapabilitas dan kompetensi SDM dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Pimpinan pemerintahan daerah dapat mengurangi intervensi terhadap inspektorat daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pengawas intern pengelolaan program, kegiatan, dan keuangan di daerah, sehingga inspektorat daerah dapat bekerja dan memberikan hasil pengawasan lebih objektif.

Bersama dengan pengawas intern lainnya, BPKP, pengawas eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), KPK, dan lembaga penegak hukum lainnya, inspektorat daerah perlu melakukan komunikasi dan sinergi yang baik, agar dapat melaksanakan peran pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efektif.

Penulis: Sjafrudin Mosii S.E, M.M
Auditor Utama Keuangan Negara VI,
Badan Pemeriksa Keuangan RI