JAKARTA – Hak angket DPR hanya dapat ditujukan bagi Pemerintah selaku pelaksana kekuasaan eksekutif. Hal

JAKARTA – Hak angket DPR hanya dapat ditujukan bagi Pemerintah selaku pelaksana kekuasaan eksekutif. Hal tersebut disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Yuliandri dalam sidang uji aturan hak angket DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), Rabu (13/9). Sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut beragendakan mendengar Ahli yang dihadirkan para Pemohon perkara Nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, 40/PUU-XV/2017, dan 47/PUU-XV/2017.

Yuliandri yang hadir sebagai Ahli Tim Advokasi Selamatkan KPK (47/PUU-XV/2017) menekankan KPK merupakan lembaga independen yang tidak dapat intervensi oleh lembaga negara manapun. Oleh karena itu, hak angket DPR tidaklah tepat dilakukan karena KPK bukan bagian dari kekuasaan eksekutif.

“Jika demikian, presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi tentu harus pula bertanggung jawab terhadap segala tindakan KPK, membaca rancang bangun sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itu mustahil terjadi, sebab presiden bukanlah atasan KPK, layaknya tindakan sebuah kementerian yang diselidiki oleh DPR harus dipertanggungjawabkan pula oleh presiden dan/atau menteri terkait,” terangnya.

Menurut Yuliandri, rumusan alternatif kumulatif dari ketentuan Pasal 79 ayat (3) dari UU MD3 sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjadikan KPK sebagai subjek hukum yang dapat diselidiki oleh DPR. Bahkan jika norma-norma tersebut dapat diberi penafsiran, lanjutnya, maka norma tersebut haruslah ditafsirkan bahwa hak angket hanya dapat dilakukan terhadap lembaga yang berada di bawah ranah eksekutif yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Selain itu, Yuliandri menyebut adanya cacat prosedur dalam pelaksanaan hak angket DPR terhadap KPK karena adanya ketentuan yang tidak dipatuhi. Prosedur yang tidak dipatuhi tersebut diatur dalam Pasal 199 ayat (3) UU MD3, yakni cara voting yang harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR. Keputusan tersebut harus diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.

Yuliandri menjelaskan jika perwakilan fraksi tidak lengkap dalam pansus angket, maka keabsahan pansus dapat dipertanyakan. “Menurut Ahli, prosedur merupakan salah satu indikator penting dan utama untuk menilai keabsahan tindakan dari penyelenggara negara. Apabila ketentuan prosedur diabaikan, maka akan berakibat pada tidak sahnya suatu tindakan atau keputusan yang diambil”, tandasnya.

Sejak Konstitusi RIS

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar yang juga hadir sebagai Ahli Pemohon menerangkan bahwa hak angket telah ada sejak Konstitusi RIS. Hak angket tercantum dalam Konstitusi RIS terutama Pasal 121 yang mengistilahkan dengan hak interpelasi DPR terhadap Pemerintah. Selain itu, ada pula dalam UUDS 1950 terutama Pasal 70 yang menunjukkan bahwa Konstitusi menghendaki hak angket ditujukan kepada Pemerintah.

“Kalau mau membaca peraturan perundang-undangan, inilah yang akan kita dapatkan. Potret yang menarik. Kenapa? Karena semenjak Indonesia ada, mulai dari konstitusi RIS, lalu UUDS Tahun 1950 semua ditujukan kepada Pemerintah. Bahkan pasca amandemen, ketika lahir setidaknya tiga undang-undang pasca amandemen, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, Nomor 27 Tahun 2009, dan Nomor 17 Tahun 2014, pada faktanya selalu ditunjukan kepada Pemerintah, tidak pernah ditujukan kepada lembaga negara di luar pemerintah,” terangnya.

Putusan Provisi

Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim juga membacakan putusan provisi yang dimintakan oleh para pegawai KPK dalam perkara Nomor 40/PUU-XV/2017. Putusan provisi yang dimintakan, yakni memerintahkan kepada DPR dan Panitia Khusus Angket KPK untuk menghentikan semua kegiatan dan pelaksanaan hak angket terhadap KPK sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi terhadap pokok permohonan a quo. Majelis Hakim memutuskan menolak putusan provisi yang dimaksud.

Anwar yang membacakan putusan provisi menerangkan putusan diambil dengan suara terbanyak. Akan tetapi, putusan dengan suara terbanyak tidak dapat diambil karena ketidakhadiran Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menunaikan ibadah haji dan kedudukan voting sama. Empat orang hakim berpendapat permohonan putusan provisi ditolak dan empat lainnya berpendapat diterima. Adapun Hakim Konstitusi yang berpendapat permohonan provisi ditolak adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, dan Wahiduddin Adams. Sedangkan empat hakim konstitusi yang berpendapat bahwa permohonan putusan provisi beralasan untuk dikabulkan adalah I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, dan Maria Farida Indrati.

“Berhubung suara Ketua Arief Hidayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, termasuk ke dalam empat Hakim Konstitusi, yang berpendapat menolak permohonan putusan provisi, maka permohonan putusan provisi dinyatakan ditolak,” tandas Anwar.

Terhadap empat orang Hakim lainnya berpendapat permohonan putusan provisi beralasan untuk dikabulkan, maka berlaku ketentuan Pasal 45 ayat (8) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, “Dalam hal musyawarah Sidang Pleno Hakim Konstitusi, sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, maka suara terakhir Ketua Sidang Pleno menentukan.”

Sebelumnya, sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017). Hal serupa juga diungkapkan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK (Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017). Kemudian beberapa Pemohon perseorangan juga mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 37/PUU-XV/2017.

Para Pemohon menyoal Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang mengatur sebagai berikut: “3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.

Ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 dinilai mengandung ketidakjelasan rumusan atau multitafsir sehingga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan serta kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Implikasinya timbul beberapa penafsiran berbeda dan berakibat pada kekeliruan DPR dalam menggunakan hak angket terhadap KPK. DPR menafsirkan pasal tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum khususnya KPK telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon, lanjutnya, menilai tindakan DPR tersebut merupakan langkah politik yang digunakan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Tindakan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus yang diduga melibatkan anggota DPR, diantaranya adalah perkara KTP-el yang saat ini sedang diperiksa oleh KPK. (Lulu Anjarsari/lul–MK)