Awalnya, orang memburu dan memuliakan batuan ini karena keindahan dan kelangkaannya Batu lama menempati posisi

Awalnya, orang memburu dan memuliakan batuan ini karena keindahan dan kelangkaannya

Batu lama menempati posisi penting dalam kebudayaan manusia. Bahkan, jejak manusia pada batu bisa menjadi penanda evolusi kebudayaan manusia. Zaman batu adalah era tertua dalam evolusi kebudayaan manusia di Bumi.

Di fase awal ini, sekitar 2,6 juta tahun lampau, yang dikenal dengan nama Paleolitik atau Zaman Batu Tua, manusia hidup dari berburu dan meramu. Alat pertama yang digunakan adalah palu batu dan batu serpih tajam yang ditemukan di alam.

Sekitar 10.000 tahun lalu, peradaban manusia memasuki fase Mesolitik atau Zaman Batu Pertengahan. Zaman ini ditandai kemahiran membentuk batu menjadi alat bantu, misalnya untuk mata tombak dan berbagai alat lain yang bisa menopang aktivitas bercocok tanam. Kemahiran mengolah batu kian memuncak pada era Batu Muda atau Neolitik.

Di penghujung era ini, alat-alat logam, utamanya perunggu, mulai ditemukan. Lahirlah Zaman Perundagian. Alat-alat dari batu mulai digantikan logam yang lebih liat dan tajam. Namun, batuan tidak ditinggalkan. Bahkan, fase ini melahirkan pemuliaan terhadap batuan dengan munculnya monumen-monumen batu raksasa atau dikenal peradaban Megalitic atau Batu Besar.

Pada era ini, batu tidak lagi dihargai karena fungsinya sebagai alat bantu, tetapi karena “nilai”-nya sebagai penopang ritual, sarana penguburan, bahkan sebagian kebudayaan melekatkan sifat-sifat keilahian dalam batuan ini. Biasanya, batu-batu besar ini diukir menjadi figur tertentu (Mohen, J P, 1999 dalam Megalithic: Stones of Memory).

Di Indonesia, tradisi megalitik ini tersebar luas sebelum masa Hindu-Buddha. Bahkan, hingga kini, sebagian masyarakat Nusantara masih melestarikan kebudayaan ini dalam bentuk asli, seperti di Nias, Batak, Sumba, dan Toraja. Beberapa sudah mengalami akulturasi dengan lapisan kebudayaan setelahnya, seperti terjadi di Bali dan Sunda (Agus Aris Munandar dalam The Continuity of Megalithic Culture and Dolmen in Indonesia).

Batuan elite

Berakhirnya era Batu Besar tidak memutus ikatan manusia pada batuan. Era ini ditandai dengan menguatnya pemuliaan terhadap batu-batu yang dianggap unik dan langka, yang biasanya dicirikan dengan bentukan kristal dan warna-warna menawan, mulai dari zamrud, ruby, safir, hingga berlian.

Hampir setiap peradaban besar pada masa lalu memiliki jejak pemuliaan terhadap batuan ini, mulai dari Yunani hingga Mesir kuno. Tak hanya pemuliaan karena keindahan dan keunikannya, bangsa-bangsa kuno juga menganggap batu-batuan ini memiliki kekuatan magis. Di Barat, kepercayaan pada kekuatan batu ini bertahan hingga Abad Pertengahan ketika rasionalisasi ilmu mereka menyingkap mekanisme pembentukannya di alam, dan upaya peniruannya di laboratorium mulai dilakukan.

Dari aspek geologis, pembentukan batuan mulia ini memang tak berbeda dengan mineral alam lain, misalnya melalui diferensiasi magma, metamorfosa, atau sedimentasi. Namun, dari sekitar 3.000 jenis mineral di Bumi, hanya terdapat 150-200 yang termasuk jenis batu mulia, yang menempatkan batuan ini dalam jajaran elite.

Beberapa di antara jajaran mineral elite ini, intan paling elite. Paling langka dan paling keras di antara semua jenis batuan alam.

Dalam jajaran batu mulia, skala kekerasan intan mencapai 10 mohs, disusul batuan safir dan ruby (mirah delima) mencapai 9 mohs, zamrud mencapai 7-8 mohs. Batuan akik yang digolongkan batuan setengah mulia memiliki kekerasan kurang dari 7 mohs.

Jadi, awalnya, orang memburu dan memuliakan batuan ini karena keindahan dan kelangkaannya. Siapa memilikinya seolah ada dalam jajaran elite, seperti dipraktikkan raja-raja masa lalu yang berlomba menyematkan batu mulia dalam mahkota.

Hingga kini, sekalipun kristal buatan dengan keindahan nyaris menyerupai buatan alam berhasil diciptakan, perburuan batuan mulia buatan alam tak berhenti. Pemuliaan batu-batuan alam ini tak hanya persoalan pemenuhan akan keindahan, tetapi juga memenuhi kerinduan pada jejak awal evolusi peradabannya.

(Ahmad Arif/KOMPAS)-NationalGeographic

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *