*  Berpotensi menjadi pemicu konflik di masyarakat MUSIRAWAS — Peraturan Daerah atau Perda No 2 tahun 2013

*  Berpotensi menjadi pemicu konflik di masyarakat

MUSIRAWAS — Peraturan Daerah atau Perda No 2 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten atau RTRWK Musirawas, Provinsi Sumatera Selatan 2011-2031, harus ditinjau ulang.

Demikian ditegaskan Efendi, dari LSM Pucuk, Senin (26/10). Menurut dia, perda yang ditandatangi Bupati Musirawas H Ridwan Mukti, tanggal 21 Oktober tahun 2013 ini, bertentangan dengan Undang-undang No 16 tahun 2013 tentang pembentukan Kabupaten Musirawas Utara (Muratara), yang ditandatangani Presiden SBY pada 10 Juli 2013.

Pada pasal 2 ayat 1 Perda RTRWK, disebutkan lingkup wilayah Kabupaten terdiri 21 kecamatan dengan luas sekitar 1.236.582 hektar. Sementara Pasal 3 ayat 1 UU Pembentukan Kabupaten Muratara, dijelaskan Kabupaten Muratara berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Musirawas, terdiri dari kecamatan Rupit, Rawas Ulu, Nibung, Rawas Ilir, Karang Dapo, Karang Jaya, dan Kecamatan Ulu Rawas.

“Mengapa masih 21 kecamatan. Padahal jelas penetapan perda ini setelah terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Musirawas dengan Kabupaten Muratara. Artinya cuma ada 14 kecamatan di Kabupaten Musirawas, setelah 7 kecamatan lainnya masuk ke dalam wilayah Kabupaten Muratara,” katanya.

Adanya perda ini, lanjut dia, membuat ruang gerak investor baik bidang perkebunan maupun pertambangan, kian leluasa, sehingga berpotensi memicu konflik di masyarakat. “Kami minta perda ini segera ditinjau ulang, serta menginventarisir perizinan tambang dan perkebunan, baik sebelum maupun sesudah perda ini terbit,” tegasnya.

Bukan cuma bertentangan dengan UU Pembentukan Kabupaten Muratara, kata dia, proses penetapan perda ini juga melanggar UU Penataan Ruang No 26 tahun 2007, pasal 8 ayat 4 huruf c, yang mengamanatkan semua perda kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

“Kenyataannya, perda ini ditetapkan setelah 6 tahun UU No 26 tahun 2007 terbit,” ungkapnya. “Lebih miris lagi, selain mengabaikan UU No 26 tahun 2007 tentang hak, kewajiban, dan peran masyarakat, sehingga masyarakat selaku objek pembangunan sangat dirugikan, biaya pembuatan perda sebesar Rp1 miliar juga kami nilai tidak masuk akal.” (PerjuanganRakyat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *